Suku Batak Toba merupakan salah satu suku diantara suku batak yang ada di Provinsi Sumatera Utara.
Seperti halnya suku batak yang lain batak toba juga memiliki keunikan
tersendiri. Keunikannya terlihat dari nilai-nilai serta adat istiadatnya
yang masih dipertahankan hingga sekarang oleh masyarakatnya. Bagi suku Batak Toba,
adat istiadat merupakan suatu hal sakral, yang harus dipatuhi. Nilai
dan adat istiadat tersebut menjadi sebuah dasar bagi kehidupan
masyarakat Batak Toba itu sendiri.
Di jelaskan Secara umum bahwa nilai serta kebudayaannya Suku Batak Toba dapatlah di diskripsikan menjadi beberapa bagian.
Sistem Kekerabatan
Secara umum sistem kekerabatan pada masyarakat Suku Batak
memiliki dua jenis, yaitu kekerabatan yang berdasarkan pada garis
keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis. Semua Suku Batak
memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan
geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan sosiologis terbentuk
melalui perkawinan. Sistem kekerabatan muncul di tengah-tengah
masyarakat karena menyankut hukum antar satu sama lain dalam pergaulan
hidup.
Dalam
tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah yang
disebut dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori
atau puak, yaitu Batak Toba,
Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak
Mandailing. Masing-masing pula memiliki ciri khas nama marganya. Marga
ini berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara mereka.
Satu puak bisa memiliki banyak marga.
Bagi
Batak Toba, Si Raja Batak adalah anak perempuan dari keturunan Debata
Muljadi Nabolon, Tuhan pencipta bumi dan isinya. Tuhan ini memerintah
ibu Si Raja Batak untuk menciptakan bumi, dan ibunya tinggal di daerah
bernama Siandjurmulamula. Daerah tersebut menjadi tempat tinggal Si Raja
Batak dan keturunannya. Daerah ini adalah tanah Batak, dimana tempat
seluruh orang Batak berasal.
Keyakinan (Religi)
Sebelum masuknya Agama Kristen yang dibawa misionaris Jerman (Nomensen) pada abad ke-19 masyarakat batak toba masih menganut kepercayaan Animesme, yang dikenal dengan nama Pamalim. Paham Parmalim yang dianut oleh masyarakat batak toba kuno inipun memiliki beberapa konsepsi.
Pertama, konsepsi tentang maha pencipta bahwa ala mini dan seluruh isinya diciptakan oleh Debata (Ompung) Mulajadi na bolon yang bertempat tinggal di atas langit dan mempunyai nama-nama lain sesuai dengan tugas dan tempat kedudukannya. Debata(ompung) mulajadi diyakini sebagai maha pencipta yang mengatur gejala alam seperti hujan, kehamilan dll. Sedangkan yang tinggal di bumi sebagai penguasa Dunia bernama Silaon na Bolon. Ada juga Pane na Bolon atau Tuan Paduka Aji yang berkuasa terhadap makhlus halus.
Kedua, konsepsi tentang jiwa, roh dan dunia akhirat. Dalam hubungan dengan jiwa dan roh, orang Batak mengenal tiga konsep yaitu Tondi, Sahala dan Begu. Tondi diartikan sebagai kekuatan dari jiwa atau roh yang dimiliki seseorang. Sahala adalah jiwa atau roh seseorang berdasarkan kedudukannya. Sahala dari seorang Raja atau Datu misalnya, akan lebih banyak dan juga lebih kuat daripada orang biasa. Begitu pula Sahala dari orang Hula-Hula lebih kuat dari Sahala orang Boru. Sahala inilah yang menentukan derajat seseorang.
Ketiga, konsepsi Begu, ialah seperti tingkah laku manusia, hanya secara kebalikannya, yaitu misalnya apa yang dilakukan oleh manusia pada siang hari di lakukan begu pada malam hari. Orang batak mengenal ada Begu yang baik dan ada yang jahat. Sesuai dengan kebutuhannya, Begu tersebut di puja dengan sebuah sajian (pelean).
Di kalangan orang batak toba, Begu yang terpenting ialah Sumangot Ni Ompu (begu dari nenek moyang). Untuk upacara penghormatan kepada Begu yang menduduki tubuh manusia yang kaya, yang berkuasa, dan yang mempunyai keturunan akan dibuat secara besar-besaran. Upacara tersebut akan diiringi dengan pertunjukan gondang (musik batak).
Saat
ini, meski sebagian besar masyarakat batak toba sudah memeluk agama
kristen, masih ada sebagian masyarakat suku Batak Toba yang masih
menganut paham Pamalim. Paham tersebut hingga kini masih kental dan terus terjaga, khususnya pada daerah-daerah pedalaman.
Adat Perkawaninan
Dalam adat perkawinan suku Batak Toba Perkawinan merupakan
salah satu upacara ritual adat. Penyatuan dua orang dari anggota
masyarakat melalui perkawinan tak bisa dilepaskan dari kepentingan
kelompok masyarakat Batak Toba. Serangkaian hal penting dalam acara
ritual adat perkawinan suku batak toba melibatkan peran masyarakat.
Bahkan ia tak dapat dipisahkan dari peran masyarakatnya itu sendiri.
Pesta pernikahan inipun merupakan salah satu bentuk kegembiraan yang
diperlihatkan kepada maysarakat dan kerabat. Untuk tata cara pelaksanaan
penikahan adat batak inipun harus mengikuti hukum adat yang berlaku.
Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum melaksanakan
pernikahan adat pada masyarakat suku batak toba.
Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah Patiur Baba Ni Mual, yaitu mohon restu kepada Tulang
(paman) sebelum putranya menikah. Menurut adat, putri tulang (saudara
kandung laki-laki dari pihak ibu) adalah jodohnya. Apabila pasangan
hidup yang dipilih bukan putri tulang, maka orang tuanya perlu membawa
putranya permisi dan mohon doa restu tulang, adat inipun hanya dilakukan pada putra saja.
Kedua, Marhori-hori Dingding, atau perkenalan keluarga terlebih dahulu. Beberapa bulan sebelum dilaksanakan pesta pernikahan, keluarga pihak laki-laki (paranak/pangoli) akan mengunjungi keluarga pihak perempuan (parboru/oroan) dengan tujuan memperkenalkan diri dan menetapkan tanggal dan hari untuk lamaran. Hal ini dilakukan oleh keluarga inti saja.
Ketiga, Patua Hata yaitu pelamaran secara resmi. Setelah lamaran Patiur Baba Nimual dilakukan dan disetujui oleh pihak wanita akan dilanjutkan dengan pelamaran secara resmi (Hori-Hori Dingding). Waktunya ditentukan saat perkenalan keluarga. Pada acara tersebut pihak lelaki akan mempersembahkan Tudu-Tudu Sipanganon (kepala babi/kerbau yang telah dimasak). Sedangkan pihak Parboru (wanita) akan memberikan Dengke (ikan mas). Acara ini akan dilakukan oleh ketua adat. Dalam acara ini akan dibiacarakan secara resmi mengenai acara Marhata Sinamot (pembelian wanita), Martumpol
(perjanjian yang mengikat antara calon mempelai pria dengan mempelai
wanita). Acara ini dilaksanakan di gereja dan disaksikan oleh pendeta. Selanjutnya, Martunggo Raja dan Maria Raja yaitu persiapan pra nikah dan mengundang masyarakat untuk hadir pada acara pernikahan yang telah ditentukan pelaksanaannya.
Keempat, pemberkatan nikah (Pemasu-Masuon) dan acara adat (Marunjuk). Setelah waktu yang telah ditentukan tiba (hari dilangsungkannya pernikahan), pagi
hari sebelum dimulai pemberkatan/ catatan sipil/ pesta adat, acara
dimulai dengan penjemputan mempelai wanita di dikediamannya disertai
dengan makan pagi bersama dan berdoa untuk kelangsungan pesta
pernikahan, biasanya akan ada penyerahan bunga oleh mempelai pria dan
pemasangan bunga oleh mempelai wanita, dilanjutkan dengan penyerahan Tudu-tudu Ni Sipanganon (kepala babi/kerbau) dan pihak wanita juga menyerahkan Dengke (ikan mas), lalu makan bersama. Selesai makan berangkat menuju tempat pemberkatan pernikahan sang mempelai.
Pemberkatan
tersebut akan dilakukan di tempat ibadah. Untuk kepraktisan, sebelum
acara pemberkatan dimulai, biasanya dilakukan pencatatan sipil. Setelah
pemberkatan dan pencatatan sipil selesai, seluruh keluarga akan
berangkat menuju tempat pesta adat dilaksanakan.
Adat Kematian
Pada
masyarakat Batak, kematian identik dengan pesta dan suka cita. Ini
sangatlah unik dan sangat khas. Ya, adat budaya kematian suku Batak
memang beda dari kebanyakan suku yang ada di Indonesia.
Dalam
tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, akan
dilaksanakan sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian
tersebut diklasifikasi berdasarkan usia dan status orang yang meningga.
Yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di bortian)
belum mendapatkan perlakuan adat dan langsung dikubur tanpa menggunakan
peti mati. Berbeda bila sang anak mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol),
keseluruhan kematian tersebut akan mendapat perlakuan adat: mayatnya
akan ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum
dikuburkan.
Pada
masyarakat Batak Toba, khususnya yang masih bertempat tinggal di
Sumatera Utara adat kematian biasanya akan menampilkan alat musik berupa
organ untuk bernyanyi, makan makan seperti menyembelih hewan, dan minum
minuman tradisional suku batak yaitu tuak. Untuk peyembelihan hewan,
juga ada kekhasannya. Masyarakat Batak secara tersirat seperti punya
simbol tentang hewan yang disembelih pada upacara adat orang yang
meninggal dalam status saur matua ini. Biasanya, kerbau atau sapi akan
disembelih oleh keluarga Batak (terkhusus Batak Toba) yang anak-anak
dari yang meninggal terbilang sukses hidupnya (orang mampu). Namun, jika
kerbau yang disembelih, maka anggapan orang terhadap keluarga yang
ditinggalkan akan lebih positif, yang berarti anak-anak yang
ditinggalkan sudah sangat sukses di perantauan sana.
Ketika seseorang masyarakat Batak mati saur matua, pihak-pihak kerabat akan mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu pertama pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri). Kedua dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu: teman atau saudara semarga). Ketiga, adalah kelompok yang terdiri dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan, keluarga perempuan pihak ayah.
Setelah proses musyawarah selesai dilanjutkan dengan Martonggo Raja yang akan dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka mulai sore hari hingga selesai. Masyarakat setempatpun (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat tersebut. Musyawarah
akan membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman,
acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan
pembagian tugas masing-masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan
peralatan upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik
beserta pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat yang
menghadiri upacara.
